Nature versus nurture, heredity vs environment, adalah perdebatan yang nggak pernah habis di dalam psikologi, walaupun akhirnya banyak yang memutuskan bahwa semuanya memiliki pengaruh. Kemudian munculah pertanyaan lain, seberapa jauh pengaruh masing-masing?

Gue bertanya-tanya apakah sebagian manusia memang terlahir dengan intensi suicidal yang lebih tinggi dibandingkan manusia-manusia lainnya. Dan kalaupun iya, pertanyaan selanjutnya adalah terkait mekanistik dan organismik, apakah sebagian manusia ini memiliki free will atau justru determinis? Apakah dia bisa mengendalikan intensi suicidal-nya atau justru intensi itu yang akan menentukan jalan yang akan ia tempuh nanti menuju kematian?

Barangkali ini terkait dengan pernyataan yang dikemukakan Sigmund Freud bahwa manusia memiliki death drive yaitu thanatos, mengingat bahwa manusia sebenarnya sadar ia adalah bagian dari tanah, kemudian ia bertingkah laku destruktif, dalam kasus ini, menghancurkan dirinya sendiri.

Tunggu, sejak kapan gue percaya teori Freud?

Mungkin gua terlahir dengan intensi suicidal above average karena bahkan menurut ibu gue, gue udah pernah mengancam akan commit suicide sejak gue umur tiga tahun. Sayangnya gue mengalami infantile amnesia, malahan ingatan gue sampe gue masuk SD aja masih blur banget, bisa dibilang gue nggak inget apa-apa selain yang diceritain ibu gue. Makanya waktu ibu gue bilang gue pernah mengancam seperti itu, gue nggak bisa mengingat-ingat apakah pada saat itu gue emang udah mengerti apa yang dimaksud dengan suicide atau cuma asal ngomong belaka? Kalaupun ngerti, emangnya gue tau metode yang akan gue lakukan seperti apa?

Tapi ajaibnya, yang jelas, setelah beberapa kali attempt suicide dan seringkali kill myself in my mind, ternyata gue masih hidup sampai sekarang. Entah ini gara-gara apa, tapi yang jelas sejak pertengahan SMA, gue nggak pernah attempt suicide secara serius lagi. Walaupun entah kenapa setiap gue lelah dengan kehidupan kuliah, dan hidup, ketika gue menyeberang rel kereta, dan ada kereta berjalan ke arah gue, gue punya kecenderungan untuk memelankan langkah kaki gua, atau malah berhenti total di tengah rel sampai sekian detik kemudian sadar.

Gue mulai bisa mengenali tanda-tanda ketika gue mulai lelah. Gue juga sudah bisa membedakan mana gue yang lelah biasa dan lelah yang akan berlanjut pada tindakan destruktif. Ketika gue lelah in destructive term, gue cenderung sangat sering menghela nafas panjang walaupun sebenarnya saat itu gue nggak lagi ngapa-ngapain. Biasanya juga nafsu makan gue berkurang atau justru berlebihan, sangat menyukai tidur dan biasanya sangat tidak termotivasi untuk bangun, dan nggak mau mengerjakan hal yang produktif.

Nah, lalu bagaimana gue mengintervensi diri gue sendiri?

Pertama, gue bersyukur karena gue bisa mengenal diri gue seperti ini. Gue nggak denial bahwa gue emang punya kecenderungan suicidal yang cukup di atas rata-rata orang pada umumnya. Gue berusaha untuk menyadari itu, karena kalau gue repress dan masuk ke unconscious, sekalinya meledak keinginan itu, gue takutnya malah benar-benar terlaksana. Gue akan terus menyadarkan diri gue bahwa gue memang punya intensi seperti itu, karenanya gue harus lebih hati-hati mulai dari ketika gue menyeberang jalan, menyeberang rel, jalan di jembatan layang, atau ketika sedang memegang benda tajam. Gue harus memotivasi diri gue bahwa gue nggak punya hak buat menghancurkan diri gue, karena bukan gue yang menciptakan diri gue. Selain itu, gue juga punya skenario kematian yang lebih bagus dan gue mencoba untuk percaya akan hal itu.

Kedua, well, ketika gue menyadari tanda-tanda itu muncul di diri gue, segeralah bertindak. Dulu waktu SMA gue pernah dalam keadaan sangat ketakutan dan nggak tahu harus kabur ke mana. Waktu itu malam hari. Gue takut untuk menutup mata karena gue membayangkan seandainya di tengah-tengah kesadaran gue yang minim di ambang tidur-bangun gue sleepwalking dan melakukan tindakan yang nggak gue harapkan. Jadi, pada malam itu, gue tidur dengan tasbih yang membelit kedua tangan gue.

Ketiga, gue udah berdiskusi dan berterusterang kepada ibu gue bahwa gue punya kecenderungan seperti ini dan memang pernah beberapa kali mencoba tindakan destruktif ini. Karenanya, gue mendapat support dan reminder yang gue butuhkan. Dan gue percaya ketika lo mengungkapkan masalah lo ke orang lain verbally, masalah itu jadi terlihat lebih possible untuk diselesaikan dan gak seberat kalo tetap lo simpan di dalam pikiran tanpa lo tuangkan ke tulisan maupun lisan.

Well, ketika orang lain mengaku gay/lesbi di sebuah postingan (istilahnya melela), gue malah mengaku punya kecenderungan suicidal yang di atas rata-rata. Gue sebenarnya hanya ingin membuka diri, bahwa ada lho manusia yang seperti gue yang berjuang bukan hanya dirinya dengan orang lain, melainkan juga dirinya dengan dirinya sendiri.

Yeah, kalian gak usah takut, gue akan menjamin bahwa gue tidak akan mati di tangan gue sendiri. Gue akan selalu berjuang untuk hidup. Dan tidak lupa, hidup dengan bahagia.

Kalau kamu bilang jawabannya adalah dengan mendekatkan diri dengan agama...
Well, I'm on my way :)
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home