Carilah sebanyak-banyaknya, sumber kebahagiaanmu.

Padahal aku sendiri juga tidak yakin bahwa hidup itu berarti sebatas mencari kebahagiaan.

Tapi kalau bukan kebahagiaan yang berusaha diraih, lalu apa?

Aku kalau ditanya kenapa masih hidup jawabannya cuma dua: karena ingin survive dan suicide itu tidak baik.

Mudah-mudahan saja sampai akhir hayat pun dua hal itu tidak terbalik menjadi: survive itu tidak baik dan ingin suicide.

Balik lagi ke sumber kebahagiaan, belakangan aku menemukannya dalam sosok manusia (jamak). Tepatnya, manusia(s) yang awalnya ku tidak mengenal mereka secara akrab, lalu kemudian mereka seperti, "hei sini masuk ke duniaku." dan bagaimana mungkin aku tidak membalasnya dengan membukakan pintu duniaku sendiri.


Tapi sayangnya kebahagiaan berupa manusia(s) itu tidaklah kekal, karena dua hal: manusia(s) datang dan pergi dan manusia(s) bisa berubah.

Tapi kapan ya aku pernah bilang ke salah satu teman baikku bahwa konsep The One dalam pikiranku sudah lama buyar. Dalam arti, aku tidak bisa lagi melihat seseorang itu irreplaceable. Biasa aja. "Dia bukan satu-satunya." "Selalu akan ada orang baru." Begitulah. Sepertinya jadi less-depressive aja sih kalau mikir begini. Tapi di sisi lain, dampak buruknya adalah kehilangan esensi dari gambling-gambling-an ini.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tapi serius, walaupun gue masih nggak pengen gambling-in kalian, menurut gue kalian orang yang bikin gue ngerasa sangat-sangat beruntung bisa ketemu kalian.

Gue nggak tau, mungkin akan tiba saatnya gue bilang, "kalian irreplaceable".

Saat itulah gue nggak lagi puasa nge-gambling. Karena dengan membuat pernyataan seperti itu, gue udah tau risikonya, apa aja yang akan gue pertaruhkan.

Tapi saat ini sih, nggak dulu.
Gue dua puluh tahun, beberapa bulan lagi akan menjadi dua puluh satu tahun. Dan gue semester lima, tahun ketiga kuliah, perhaps satu tahun setengah lagi sudah wisuda.

Dan saat ini, walaupun bukan giliran gue wisuda, gue melihat banyak teman-teman gue yang sudah mendahului gue wisuda. Terus gue mikir, betapa cepat ya waktu berlalu. Beberapa orang bilang, "Hebat ya waktu bener-bener nggak berasa, tau-tau kita udah sampai titik ini aja. Dan melihat banyak yang datang, banyak juga yang pergi."

Bagi gue ini bukan cuma hebat.
Ini magis.

Sebenernya gue bukan mau ngomongin ini sih. Ada beberapa poin yang gue dapet ketika gue mengobservasi beberapa sampel (yang bisa dibilang sangat kecil) mahasiswa (laki-laki). Dari beberapa sampel itu, gue melihat mereka seperti punya kekhawatiran yang... menurut gue, mereka bahkan nggak usah memelihara kekhawatiran itu.

Kekhawatiran seperti apakah itu?

Kekhawatiran yang berdasar dari kesadaran bahwa mereka akan menjadi kepala keluarga dan pemberi nafkah utama.

Oke, kalo kekhawatiran mereka berhenti sampai situ sih, gue nggak masalah.

Tapi, dari hasil observasi itu, gue menemukan ada orang yang kekhawatirannya itu berujung menyebalkan. Menyebalkan bagaimana? Menyebalkan ketika mereka sudah mengkerdilkan peran perempuan.

I mean, wth.

"Perempuan sih enak tinggal dandan pake make-up tebel dan godain laki yang udah sukses."
"Perempuan bisa belajar ilmu nggak guna kayak filsafat toh mereka nggak perlu kerja nantinya."
"Perempuan dibayar *sekian* juga mau diajak *males ngetiknya*"

I MEAN, PLS.

Lo stres, lo ngerasa terbebani, LO FEEL PRESSURE, I KNOW YOU FEEL IT AND YOU CAN'T HANDLE IT.

BUT YOU DON'T WANT TO LOOK WEAK. And instead of nerimo "peran laki-laki" yang membuat lo terbebani itu, lo malah nyalahin "peran perempuan" yang terkesan mudah di benak lo itu.

Lo nganggep perempuan murah. Lo nganggep ketika laki punya duit, perempuan akan mau mendekat. Kasarnya sih, kalo lo yang ngomong, "50k dapet sekali jos." Bodo amat. Otak selangkangan kayak lo sok-sok mikirin hakikat gender. Gue heran bahkan orang kayak lo ngapain capek-capek kuliah kalo deep inside your mind lo masih gelisah dengan delusi lo bahwa peran laki-laki sangat lebih berat dibandingkan perempuan?

Gue cuma bingung.

Sesungguhnya.

Gue tipe orang yang mikir: Persetan dengan gender, karier ya karier. Lo perempuan, lo laki-laki, kerjalah kalo emang lo mau. Jangan karena lo cewek, lo harus di rumah terus. Jangan karena lo laki-laki, lantas lo gengsi istri lo kerja padahal dia emang punya talent. Jangan karena lo bakal jadi ayah, lantas lo ga punya kewajiban ngurus anak sama sekali. Hidup gausah dibawa sulit lah plis :')) kenapa lo kebanyakan nguras tenaga untuk envy, gelisah, khawatir, tertekan, terintimidasi, terbebani dan semacam itu sih?

Sebenernya, kalo lo berpikiran kayak gue di atas, masalah lo kelar kan? Karena setangkep gue masalah lo adalah lo ngerasa peran laki-laki dan perempuan ga adil. Perempuan lebih gampang idupnya gausah nyari duit. Kalo lo punya mindset kek gue kan masalah kelar toh?

But instead of berpikiran kayak gue tadi, lo mengeluarkan argumen begini:

"Tapi kalo menurut agama X, perempuan memang harus di rumah, nurut kata suami, suami yang menjadi pencari nafkah utama blablabla"

Sekarang gue tanya, kalo lo bawa-bawa argumen berdasarkan agama itu... berarti gue asumsikan iman lo kuat kan?

Pertanyaannya sekarang, kalo iman lo kuat, kenapa lo harus merasa berat dengan statement dari Tuhan lo?

Lo sebenernya yakin nggak sih beragama? :))
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home