Feminisme, Budaya Malu dan Budaya Merasa Bersalah

Sebagian orang di sana koar-koar membela feminisme.
Di seberang jalan, sebagian orang yang berbeda berbisik, "Halah? Apaan sih feminisme-feminisme? Nggak ada itu yang namanya kesetaraan gender! Yang ada itu Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban masing-masing!"

Enak sih untuk diomong, tapi gue pribadi ada pada posisi di mana FEMINISME EMANG DIBUTUHKAN, BANGET.
Mulai dari ilmu pengetahuan, buku-buku tentang manusia yang gue pegang di bangku kuliah, ketika ngomongin gejala psikotik pada laki-laki itu panjangnyaaaaaa segambreng. Giliran ngomongin kalo di perempuan kayak gimana.... gak sampe setengah panjangnya bacaan yang tentang laki-laki.

Kalo lo gak nangkep, yang gue ceritakan di atas tadi indicates that ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini masih maskulin banget. Dengan kata lain, diteliti oleh laki-laki, diuji oleh laki-laki, dengan partisipan laki-laki juga. Pertanyaannya, lalu apakah teori-teori tersebut dapat digeneralisasikan ke perempuan? Nah, di sinilah feminisme bermain. Inilah kenapa kita butuh kesetaraan gender dalam ilmu pengetahuan, agar perempuan diberikan kesempatan juga untuk "membuat teori" tidak hanya "menerima teori". Dan juga, agar ilmu pengetahuan ini bukan hanya menjadi "milik laki-laki".

Sebenernya gue nggak mau panjang lebar ngomongin ilmu pengetahuan, gue mau ngomongin feminisme ke hal yang lebih dekat dengan hidup kita aja.

Yaitu kasus pemerkosaan dan hubungan anu di luar nikah.

(Btw, did i mention "lebih dekat dengan hidup kita"? LOL! Gajadi deh, semoga hal ini jauh dari hidup kita ya!"

Gue bukan anak baik-baik, dalam arti temen gua sangat beragam. Temen gue bukan cuma orang alim yang rajin gerejaan atau rajin liqo (walopun yang setipe itu ada juga sih), gue juga punya temen yang pernah diperkosa, disodomi, atau sebatas yang pacarannya udah berlebihan.

Masyarakat sekarang mungkin udah lebih "melek" bahwa bagaimanapun dalam perkosaan, kesalahan ada pada pelaku. Faktor pendukung mungkin datang dari korban tapi tetap saja itu BUKAN SALAH KORBAN. Makanya, miris banget banyak korban perkosaan yang nggak ngaku, hanya karena dia malu sudah nggak suci lagi.

Girl, lo korban. Lo nggak seharusnya ngerasa malu karena lo nggak salah apa-apa. Yang seharusnya ngerasa paling malu itu si pelaku dengan segala perbuatan setan yang telah dia lakukan!

Tapi yang ada, kebalik. Pelaku yang ditangkep cuma ngerasa "shit perbuatan gue ketahuan gue jadi harus masuk penjara", tapi yang nerima beban psikologis paling berat tetep aja si korban.

Nggak cuma perkosaan, pacaran yang berlebihan, gue liat juga kayak gitu. Bayangkanlah sepasang cowok dan cewek straight pacaran, lalu selama pacaran melakukan hubungan anu, lalu putus. Siapa yang paling ngerasa nyesek? Lo pada mungkin udah pada tahu jawabannya.

Well, di saat si cewek mungkin trauma, menyesal, malu udah nggak suci, merasa kotor, memiliki bekas yang nggak bisa hilang (entah hamil atau apa).........

Si cowok? Dia tidak berbekas. Bahkan mungkin tidak merasa malu dan menyesal sama sekali. Dia merasa bebas. Bahkan mungkin dia dengan jahatnya menyebarkan foto-foto telanjang pacarnya, atau menceritakan ke teman-teman satu gengnya betapa pacarnya itu sudah tidak suci.

Dan di sinilah menurut gue yang paling nggak beres.

Well, ketika seorang cewek, foto telanjangnya tersebar, kemudian gosip tentang dia melakukan anu tersebar, cewek itu otomatis langsung diberikan pandangan negatif dan dikucilkan. Cowoknya? Kagak! Cowoknya masih bisa cerita tentang kehebatannya menaklukan cewek sambil ketawa-ketawa bareng temen-temennya!

Padahal biar bagaimanapun, dalam kasus ini, si cewek bukan subjek satu-satunya. Si cowok juga merupakan subjek yang bersama-sama mereka melakukan perbuatan tercela! Tapi ini gimana ceritanya beban psikologisnya jadi jomplang cuma berat di ceweknya doang?

Tapi karena term "perjaka" nggak akan pernah sepopuler "perawan", jadi gue cuma bisa ingetin perempuan untuk bisa clear-thinking ketika godaan untuk melakukan itu datang.
Coba perhatiin baik-baik cowok yang ngajak lo melakukan itu, jangan-jangan selama ini dia mukanya jelek tapi lo gak nyadar?
Hahaha nggak-nggak, coba pikir aja, apa menurut lo dia pantes dapetin lo padahal dia belom sepengorbanan itu loh ke lo. Dia belom jadi suami lo, ngasih lo nafkah, dll, tapi cuma mau dapetin enaknya aja. Apa lo udah bisa bilang dia menghormati lo?

--------------------------------------------------------------------------------

Indonesia ini negara yang mengembangkan budaya malu

"Jangan pulang malem, malu ama tetangga!"
"Laki-laki kok sholat di rumah? Malu-maluin!"

Apakah budaya malu ini baik? Mungkin............

Kelemahannya, berarti budaya malu ini hanya efektif jika di sana ada orang yang melihat kita melakukan hal salah.
Nah berarti supaya gak malu, yang perlu kita lakukan hanyalah berbuat salah ketika tidak ada orang yang melihat kita kan?

Lagi bulan puasa di rumah ga ada siapa-siapa? Makan aja nggak ada yang ngeliat!
Korupsi setoran pajak perusahaan X ah mumpung nggak ada yang ngeliat!
Kostan sepi dikit, bawa pacar ke kamar. Nggak ada yang ngeliat!
Eh di kuburan juga nggak ada yang ngeliat!

Gimana? Masih berpikiran budaya malu ini baik?

Jadi harusnya budaya apa dong?

Budaya guilt! Atau budaya merasa bersalah.
Lo salah ya merasa bersalah lah, regardless ada orang yang ngeliat lo atau nggak. Ketika guilt udah terinternalisasi dalam diri lo tiap kali lo berbuat salah, lo udah ngebentuk suatu "self-punishment" yang akan membuat lo mikir "ah gue nggak akan ngelakuin ini (lagi)."

Lo menghindari kesalahan simply karena lo ngerasa gak enak dengan perbuatan lo itu. So, lo lebih inward, internal, dan nggak terpengaruh gimana konteks di luar atau oleh faktor eksternal.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Well, yang satu ini sebenarnya selingan.

Gue semacam tau laki-laki yang pernah pacaran beberapa kali dengan perempuan dan hampir semua perempuan itu tidak ia hormati.

Lalu suatu kali ia mungkin merasa seperti dimutilasi oleh perempuan terakhir yang tidak ia hormati itu, lalu ia merasa kapok(?) dan jadi terlihat sangat mendekatkan diri ke agama gitu.

Gue mah ketawa aja ngeliatnya.

Nggak-nggak, gue nggak sebejat itu untuk ngetawain orang yang mau dekat dengan agama. Gue ketawa karena sebenernya sejak dulu pun konsep agama anak laki-laki ini cukup lucu. Dia bahkan pernah berpikir untuk menyeimbangkan perbuatan bejatnya dengan banyak melakukan ibadah sunah. Dengan kata lain, maksiat jalan, tapi ibadah sunah jalan. Well, he tried so hard as hell to make it BALANCE.

Gue mah ketawa aja ngeliatnya (2).

Makanya ketika kemudian akhirnya dia pada tahap kapok dan (sok) mendekati agama, gue sih sangat ingin ketawa, banget. I mean, ada ya orang sebodoh dia..........
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment