Halo, jadi gue punya another nazar, yaitu kalo tugas akhir psibel gue dapet 80 ke atas juga, gue bakal share di sini.

Tugas ini tentang cicak. Ew, cicak adalah organisme yang sangat geli buat gua dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

1. Dia nggak peka
Ketika gue shuuush shuuush-in (maksudnya ngusir) dia tetep bergeming

2. Dia kegeeran
Nah ini lebih parah dari nggak peka. Maksud hati ngusir, dia malah ngedeketin. Gatel bener jadi makhluk.

4. Suka show-off
Yaudasi siapa juga yang mau ngeliat elu. Silakan kalo mau nyari makan di balik lemari atau kursi atau apapun gue ga masalah gausah nunjukin diri lo depan manusia kzl

5. Kalo kawin kayak film india
Kejar-kejaran geli

6. Pemanjat yang payah
Karena dia seringkali jatuh....................

7. Menyalahi lagu nasional bangsa percicakan
"cicak-cicak di dinding diam-diam merayap.........."
TAPI CICAK INI MALAH KE LANGIT-LANGIT
udah gitu suka jatuh nimpuk manusia
KAN GELI
TERUS CICAK INI MALAH MERAYAP DI LANTAI
udah dikasih kelebihan bisa menguasai bidang vertikal malah horizontal
KAN NTAR LU KEINJEK AMA MANUSIA
DAN ITU GELI ABIS

8. CICAK ITU MAKHLUK PALING GAJELAS

oke lah langsung aja ini dia tugas gue.............. semoga menginspirasi

--------------------------------------------------------------------------------------

Tugas 03: Self Control
MK Psikologi Belajar
Semester Genap Tahun Akademik 2014/2015
Program Sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Nama  : Amira Budi Mutiara
NPM     : 1406576130



“Self-Control: Fobia terhadap Cicak dan Strategi Mengubahnya”
Oleh Amira Budi Mutiara, 1406576130


Pendahuluan
                Tingkah laku yang paling merugikan penulis dan paling sulit untuk dihilangkan adalah fobia terhadap cicak. Fobia yang penulis alami terhadap cicak ini telah terakuisisi sejak bertahun-tahun lamanya. Oleh karena begitu lamanya keberlangsungan fobia inilah sehingga tingkah laku tersebut sulit sekali untuk dihilangkankan. Fobia yang penulis  alami ini juga cukup berat karena penulis bukan hanya takut ketika bersentuhan langsung dengan cicak, namun penulis juga sudah merasa geli, jijik, dan gelisah hanya dengan melihatnya saja. Penulis bahkan tidak sanggup untuk melihat gambar cicak walau hanya di buku atau televisi.
                Dari rasa fobia penulis terhadap cicak, timbul berbagai kerugian yang menyulitkan kehidupan penulis sehari-hari. Misalnya saja, karena penulis tidak mau satu ruangan dengan cicak, ketika penulis menemukan cicak ada di dalam toilet, maka penulis akan berusaha keras untuk menahan diri supaya tidak masuk ke dalam toilet sekalipun sebelumnya penulis memiliki keinginan kuat ingin buang air. Kerugian lainnya adalah penulis sering kali merasa gelisah ketika tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam sepatu atau di dalam celana panjang penulis. Biasanya perasaan seperti itu menimbulkan tingkah laku berulang berupa mengecek isi sepatu atau menyentuh bagian celana panjang di sekitar betis untuk memastikan tidak ada cicak di dalamnya. Hal-hal tersebut tentu merugikan diri penulis. Penulis tersiksa ketika harus menahan buang air hanya karena ada cicak di dalam toilet. Sedangkan, menahan buang air juga akan berdampak buruk bagi kesehatan terutama ginjal dan sistem pencernaan. Selain itu, kekhawatiran berlebih terhadap adanya cicak di dalam sepatu atau celana panjang penulis dapat memecah konsentrasi penulis terutama jika saat itu penulis sedang melakukan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi penuh seperti ketika sedang ujian. Oleh karena berbagai gangguan yang telah penulis paparkan di atas, penulis berharap tingkah laku penulis ini dapat berubah secepatnya. Perubahan ini dapat diakuisisi setelah melakukan proses flooding therapy selama 21 hari, karena menurut banyak psikolog, 21 hari adalah waktu yang cukup bagi manusia untuk membentuk kebiasaan (Lomax, 2013). Ekspektasi penulis terhadap perubahan tingkah laku baru yang diinginkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:




Analisis Tingkah Laku
Sebelum penulis menginjak sekolah dasar, cicak merupakan stimulus netral (NS) bagi penulis. Pada saat itu penulis belum menganggap cicak sebagai sesuatu yang aversif bagi diri penulis karena penulis belum memiliki pengalaman aversif yang berasosiasi dengan cicak. Fobia penulis terhadap cicak berawal ketika pada suatu hari di saat penulis sudah menginjak sekolah dasar, penulis menyentuh piano tua di rumah kakek penulis. Saat penulis membuka tutupnya, penulis melihat beberapa bangkai cicak bergelimpangan di atas tuts-tuts piano. Penulis pun merasa jijik dan takut.

Proses learning (classical conditioning):
Cicak (NS) → Tidak Berespon
Bangkai (US) → Jijik dan Takut (US)
Cicak (NS) + Bangkai (US) → Jijik dan Takut (UR)
Cicak (CS) → Jijik dan Takut (CR)

Menurut Mineka (1985 dalam Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 357), manusia dapat mengalami fobia yang kuat walaupun hanya satu kali mengalami peristiwa yang menyakitkan atau menakutkan. Meskipun begitu, kekuatan dan kegigihan fobia dapat terus meningkat dengan bertambahnya pengalaman aversif. Fobia yang penulis alami terhadap cicak juga terus berkembang dan menguat melalui pemasangan cicak (CS) dengan US (bangkai) yang terjadi berulang kali dalam waktu yang berdekatan dengan proses akuisisi pertama hingga akhirnya mencapai asimtot (titik stabil). Kejadian-kejadian yang penulis alami dengan cicak pun semakin bervariasi seperti kejatuhan cicak, menginjak cicak, dan dirayapi cicak di rambut penulis. Kejadian-kejadian itu membuat penulis semakin takut dan semakin tersensitisasi dengan cicak.
Setelah lama mengalami fobia terhadap cicak, penulis mengalami aplikasi praktis dari classical conditioning yaitu proses overgeneralization. Overgeneralization adalah proses di mana respon terkondisi pada satu kejadian telah menjadi tergeneralisasi secara berlebihan pada kejadian lainnya yang tidak berbahaya (Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 190). Pada mulanya, penulis hanya takut pada cicak. Selanjutnya, penulis mulai menunjukkan ketakutan yang sama pada stimulus yang mirip atau serupa dengan cicak seperti kadal dan tokek. Tidak cukup sampai di situ, penulis juga merasa cukup takut terhadap reptil lainnya yang hanya memiliki sedikit kemiripan dengan cicak yaitu katak, bunglon, dan ular. Dengan demikian, respon takut penulis terhadap cicak tampaknya tergeneralisasi pada objek-objek yang serupa dengan CS.
Lebih parahnya lagi, penulis juga mengalami higher-order conditioning, yaitu adanya stimulus baru yang diasosiasikan dengan CS kemudian menjadi CS tambahan (Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 145).  Menurut Helmstetter & Fanselow (1989), higher-order conditioning yang juga disebut second-order mengacu pada proses di mana stimulus yang telah menciptakan kemampuan mengontrol respon melalui hubungan langsung dengan kejadian biologis yang signifikan, dapat secara subsekuen dipasangkan dengan stimulus netral, menunjang proses conditioning selanjutnya. Hal ini sangat berkaitan dengan proses manusia dalam mempelajari asosiasi di antara dua atau lebih kejadian. Dalam fobia yang penulis alami, proses higher-order conditioning ini terjadi secara bertahap.





Setelah pada kejadian sebelumnya penulis merasa jijik dan takut terhadap cicak, di kejadian selanjutnya penulis mengalami kejadian yang melibatkan pemasangan antara cicak dengan sepatu. Pada saat itu, ketika penulis sedang mengenakan sepatu, penulis merasa ada sesuatu di bagian dalam ujung sepatu tersebut yang menggeliat-geliat di jari-jari kaki penulis dan ternyata itu adalah cicak. Akibatnya, setiap penulis memakai sepatu, penulis merasa jijik dan takut karena ingat terhadap kejadian itu. Penulis juga sering kali gelisah dan berhalusinasi jika di dalam sepatu penulis ada cicak meskipun penulis selalu terlebih dahulu memeriksa bagian dalam sepatu sebelum mengenakannya. Akan tetapi, tetap saja respon takut dan jijik yang penulis rasakan terhadap sepatu lebih lemah dibanding respon takut dan jijik yang penulis rasakan terhadap cicak.
Ketika penulis melakukan avoidance atau menghindar dari stimulus aversif yang dalam konteks ini adalah cicak, hal ini sesuai dengan proses dasar dalam classical conditioning yaitu S-S (stimulus-stimulus) model. Model S-S menekankan adanya asosiasi langsung antara NS dengan US sehingga memunculkan respon yang menyerupai UR (Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 175-176). Misalnya, pada saat penulis menghindari cicak, penulis bukan semata-mata menghindari cicak (NS), namun menghindarinya karena ingat di pengalaman sebelumnya  penulis pernah kejatuhan cicak (US).
Perilaku menghindar dari stimulus aversif rupanya tidak melibatkan proses classical conditioning semata. Mowrer (1960) mengenalkan two-process theory of avoidance learning yang mengemukakan bahwa ada dua proses yang berperan dalam mempelajari respon avoidance, yaitu: 1) takut terhadap CS (classical conditioning) dan 2) menghindar dari CS (operant behavior). Operant behavior adalah seluruh perilaku yang dipancarkan oleh makhluk hidup yang menghasilkan efek atau konsekuensi, dan operant mengacu pada kelas respon-respon yang memiliki suatu konsekuensi (Chiesa, 1992). Perilaku menghindar yang dimunculkan tidak dilakukan secara refleks melainkan emitted atau dilakukan dengan sengaja. Dalam kasus fobia terhadap cicak, setelah pertama-tama penulis merasa takut terhadap cicak (classical conditioning), di kesempatan selanjutnya ketika penulis bertemu cicak lagi penulis akan dengan sigap menghindarinya (operant behavior), di mana menghindar dari CS adalah bentuk negative reinforcement dengan mengurangi rasa takut.
                Dengan terciptanya akuisisi rasa takut terhadap cicak yang disertai dengan overgeneralization terhadap stimulus-stimulus lain yang serupa dengan cicak dan ketakutan terhadap stimulus yang berhubungan dengan cicak dalam proses higher-order conditioning, kekuatan rasa takut penulis terhadap cicak terus semakin bertambah kekuatannya hingga sulit untuk dihilangkan. Apalagi, penulis juga terus melakukan avoidance terhadap cicak. Berkat avoidance, emosi negatif penulis yaitu takut memang berkurang namun di sisi lain penulis jadi tidak pernah berani untuk berhadapan dengan cicak. Sangat sulit untuk menghindari perilaku avoidance karena perilaku avoidance itu memberikan reward yang segera terhadap penulis.



Rancangan Perubahan Tingkah Laku
                Meskipun sulit dihilangkan, bukan berarti fobia tidak bisa dimodifikasi. Fobia justru sangat rentan terhadap terapi  berbasis prinsip tingkah laku dari classical conditioning (Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 201). Terapi yang penulis terapkan untuk menghilangkan fobia terhadap cicak adalah flooding therapy: terapi perilaku yang melibatkan eksposur berkepanjangan terhaadap stimulus yang ditakuti, yang secara maksimal menyediakan kesempatan pada respon takut terkondisi untuk dapat hilang (Spiegler & Guevremont, 2010 dalam Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 205). Flooding therapy memiliki dua tipe yaitu imaginal flooding yaitu dengan cara membayangkan hal yang ditakuti dan in vivo flooding yaitu dengan eksposur berkepanjangan terhadap hal yang ditakuti secara aktual (Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, 205-206). Tipe flooding therapy yang penulis pilih adalah in vivo flooding dengan alasan: 1) cicak dapat ditemui dengan mudah secara nyata, dan 2) banyak penelitian-penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa in vivo flooding efektif dalam menangani fobia seperti misalnya pada penelitian Bandura, Blanchard, dan Ritter pada tahun 1969  (Hoffman, 2009).
                Prosedur in vivo flooding ini akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu 45 menit selama 21 hari berturut-turut. Pertama-tama, penulis akan memberikan perintah kepada diri penulis untuk berada dalam satu ruangan bersama cicak di dalam kandang dengan jarak yang cukup jauh hingga penulis mencoba untuk mendekatinya terus sampai berusaha menyentuhnya. Penulis juga dapat memberi feedback pada diri penulis mengenai kemajuan yang telah penulis alami dengan menggunakan skala Behavioral Avoidance Test Score Assessment oleh  Mitchell (1981). Semakin kecil poin yang penulis dapat artinya semakin penulis mengalami kemajuan untuk bisa mengubah tingkah laku penulis terhadap cicak.



                Waktu yang dibutuhkan untuk setiap langkah yaitu kurang lebih 2 menit dengan total waktu 45 menit dari langkah 23 sampai langkah 1. Setiap kali penulis menyelesaikan satu langkah lebih dekat dengan cicak, penulis akan merasa bangga terhadap diri penulis sendiri. Rasa bangga tersebut dapat menjadi reinforcer terhadap diri penulis untuk memperkuat tingkah laku penulis selanjutnya. Penulis juga akan menerapkan prinsip delay of gratification, kemampuan untuk berusaha mencapai tujuan dan menolak godaan yang akan menghambat tercapainya tujuan itu (Cuskelly & Stubbins, 2007). Artinya, penulis harus mengontrol diri untuk tidak melakukan avoidance karena avoidance memang akan memberi immediate reinforcement kepada penulis namun penulis akan gagal mendapatkan reinforcer yang lebih besar nantinya yaitu tidak fobia lagi terhadap cicak. Agar penulis bisa lebih mendisiplinkan diri untuk menyelesaikan langkah-langkah tersebut sampai akhir, jika penulis berhasil menyelesaikannya maka penulis akan memberi reinforcement kepada diri penulis yaitu tiga porsi sushi unagi (belut), makanan yang sangat penulis sukai. Sebaliknya, jika gagal, penulis akan memberi punishment kepada diri sendiri yaitu tidak boleh makan sushi unagi selama satu tahun dan tidak boleh menggunakan internet selama  satu minggu selama liburan.
                Setelah penulis berhasil menyelesaikan proses flooding therapy, penulis berharap ketakutan penulis terhadap cicak dapat berkurang. Selain itu, penulis juga memiliki ekspektasi tingkah laku baru yang akan terbentuk yaitu: 1) berani untuk berada di dalam satu ruangan dengan cicak, 2) tidak melakukan avoidance ketika melihat cicak berada di dekat penulis, dan 3) tidak lagi gelisah maupun berhalusinasi tentang adanya cicak yang menempel di tubuh penulis. Dengan demikian, cicak kembali menjadi stimulus netral bagi penulis yang penulis persepsikan tidak aversif sehingga tidak lagi merugikan diri penulis seperti sebelumnya.
                Terciptanya fobia terhadap cicak diperoleh melalui proses classical conditioning yang berkembang ke tahap overgeneralization dan higher-order conditioning. Tingkah laku yang bertahan dan paling menonjol adalah tingkah laku avoidance dari cicak berdasarkan proses S-S model dan two-process theory yang mengintegrasikan antara classical conditioning dengan operant conditioning. Akan tetapi, fobia terhadap cicak ini masih dapat dihilangkan dengan flooding therapy. Apabila flooding therapy ini dijalankan dengan konsisten dalam kurun waktu yang telah ditentukan, penulis berekspektasi tingkah laku baru yang lebih diinginkan dapat menggantikan tingkah laku lama yang merugikan. 



Daftar Pustaka


Chiesa, M. (1992). Radical behaviorism and scientific frameworks: From mechanistic to relational
                accounts. American psychologist, 47(11), 1287.                           
Cuskelly, M., & Stubbins, P. (2007). Self-imposed delay of gratification in adolescents with Down  
               syndrome. Journal on Developmental Disabilities, 12(1-Supplement 2), 19-28.
Helmstetter, F. J., & Fanselow, M. S. (1989). Differential second-order aversive conditioning using 
               contextual stimuli. Animal Learning & Behavior, 17(2), 205-212.
Hoffman, D. L. (2009). Comparative effects of virtual reality exposure and imaginal exposure
              therapy on reduction.
Lomax, R. (2013). The Power of Positive Thinking: Untold Secrets About Positive Thinking Tips, 
               Positive Thinking Affirmations, Positive Thinking Exercises, Positive Thinking Quotes.
Mitchell, D. C. (1981). The Effect of Dissonance Reduction in Psychotherapy: A Reexamination.
Mowrer, O.H. (1960). Learning theory and behavior. New York, NY: Wiley.
Powell, R. A., Honey, P. L., & Symbaluk, D. G. (2013). Introduction to Learning and Behavior
              (4th ed.). Cengage Learning.
singkat aja sih, gue nazar kalo misal esai gue dapet nilai lebih dari 80, gue bakal post di sini ya itung-itung bagi ilmu atau kalo ada maba psikologi/yang mau masuk psikologi yang penasaran tugas-tugas di psikologi kayak gimana sih?

gue kasih tau ya di tahun pertama kalian bakal disibukkin sama ESAI! meskipun begitu gue sih gak muak disuruh bikin esai, masih lebih asik daripada analisis jurnal, makalah, paper, dll :'v

oh iya asal kalian tau gue tuh ganti topik di h-1 ngumpulin :v jadi ceritanya tadinya gue bikin tentang konformitas, udah konsultasi 2x sama mbaknya tentang konformitas dan sebenernya cukup oke tapi kok gue nggak sreg, nyari jurnalnya juga gak maksimal. gue nekat deh ganti topik tanpa konsul dulu. tapi gue gak nyesel, karena kalo gue pake topik yang konformitas kayaknya nilai gue gak bakal dapet segini :v

so yaudahya ini diaaaa esai Psikologi Sosial gue *ba dum tssss*

Pentingnya Meningkatkan Perilaku Prososial pada Bystander untuk Mengintervensi Bullying di Lingkungan Sekolah
Oleh Amira Budi Mutiara, 1406576130
Kelas Psikologi Sosial A


Bullying adalah fenomena yang kerap terjadi di lingkungan sekolah. Dampak dari bullying ini pun tidak main-main, salah satunya adalah bunuh diri. Vivi Kusrini, gadis berusia 13 tahun ditemukan gantung diri di kamar mandi rumahnya karena merasa malu terus-menerus diejek sebagai anak tukang bubur oleh teman-temannya di sekolah (KEN/Muhabar, 2005). Tidak hanya di Indonesia, kasus bullying juga terjadi di lingkungan sekolah dari berbagai belahan dunia seperti yang terarngkum dalam buku The Bully, The Bullied, and The Bystander yang ditulis oleh Coloroso (2008, hal. xxi-xxv). Bullying telah mematahkan semangat hidup mereka yang terlibat di dalamnya dengan keputusasaan. Begitu buruknya dampak dari bullying ini hingga menjadikannya sebagai masalah serius yang harus diberantas, khususnya di lingkungan sekolah. Berbagai penelitian terbaru mengindikasikan bystander memegang peran yang penting untuk mengintervensi bullying. Oleh karena itu, meningkatkan perilaku prososial pada bystander adalah strategi yang efektif untuk menurunkan angka kejadian bullying di sekolah.

Bullying didefinisikan sebagai tindakan berulang oleh satu individu atau lebih yang secara sengaja mengganggu atau membahayakan individu lain yang tidak berdaya untuk membela diri (Weir, 2001). Dalam konteks lingkungan sekolah, Frey, Hirschstein, Edstrom, dan Snell (2009) mendeskripsikan bullying sebagai konstruksi sosial yang mengganggu hubungan sosial di kalangan siswa. Terdapat beberapa wujud bullying yaitu ancaman, kekerasan fisik, penolakan, julukan, menggoda, menyebarkan rumor, dan pengambilan barang-barang pribadi (Weir, 2001). Pada umumnya, terjadi ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan korban bullying di mana korban lebih lemah secara psikologis maupun secara status sosial (Ross & Horner, 2009). Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi bullying yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tindakan mengganggu siswa lain yang lebih lemah secara berulang.

Bullying telah didefinisikan ulang dari interaksi yang diadik (pelaku-korban) menjadi triadik (pelaku-korban-bystander) (Twemlow, Fonagy, & Sacco, 2004). Interaksi yang terjadi di dalamnya tidak hanya berlangsung di antara dua pihak, melainkan adanya keberadaan pihak ketiga yang disebut sebagai bystander. Bahkan, proporsi individu terbesar dalam sebuah sistem sekolah memainkan peran sebagai bystander dalam bullying (Glew, Fan, Katon, Rivara, & Kermic, 2005). Dengan begitu banyaknya kuantitas bystander di sekolah, tidak heran jika mereka dapat secara aktif mengintervensi bullying agar berhenti, mendorong bullying agar terus berjalan, atau bisa juga hanya menyaksikan secara pasif (Smith, Twemlow, & Hoover, 1999). Belum banyak penelitian yang mengkaji bullying melalui perspektif bystander meskipun bystander ini memiliki peran yang penting dalam bullying dan mengkajinya akan sangat bermanfaat. Bystander dapat berperan sebagai reinforcement bagi pelaku bullying, misalnya dengan menertawakan korban bullying saat di-bully, dan sebaliknya, bystander juga dapat menginhibisi pelaku bullying apabila dia menunjukkan perilaku prososial dengan menolong korban bullying (Salmivalli, Lagerspetz, Bjorkqvist, Osterman, & Kaukianen, 1996).

Perilaku prososial adalah aksi dari seorang individu yang menolong orang lain tanpa adanya balasan berupa keuntungan secara langsung kepada si penolong (Baron & Branscome, 2012). Perilaku prososial ini sangat penting untuk dimiliki para bystrander. Ketika bullying terjadi, seorang bystander pertama-tama harus peka bahwa ada sesuatu yang tidak biasa sedang berlangsung kemudian menginterpretasikan kejadian tersebut sebagai keadaan darurat sehingga di langkah selanjutnya dia dapat menentukan apa yang akan dilakukannya untuk bisa menolong korban (Baron & Branscome, 2012). Jika langkah-langkah yang krusial tersebut diterapkan, perilaku menolong akan diproduksi. Sebaliknya, jika sejak awal bystander gagal untuk peka terhadap situasi, dia pun tidak akan memunculkan upaya menolong korban. Faktor lainnya yang terlibat dalam perilaku prososial adalah empati, yaitu kemampuan untuk bisa merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpati terhadap mereka, dan mampu melihat dari sudut pandang mereka (Baron & Branscome, 2012). Perilaku prososial juga dapat terhambat oleh fenomena yang dikenal sebagai bystander effect yaitu semakin banyak bystander yang hadir sebagai saksi dalam keadaan darurat, semakin sedikit kemungkinan salah satu di antara mereka memberikan bantuan dan semakin besar keterlambatan waktu datangnya bantuan (Baron & Branscome, 2012). Dengan kata lain, terdapat difusi tanggung jawab yang semakin tersebar seiring dengan semakin besarnya jumlah bystander karena mereka saling berasumsi jika orang lain akan segera menolong korban (Darley & Latane, 1968). Untuk mencegah terjadinya bystander effect ini, seorang siswa yang merupakan bystander haruslah sigap dan memiliki inisiatif yang tinggi untuk berperilaku prososial.

Telah banyak program pencegahan bullying yang diselenggarakan dengan beraneka macam strategi. Dari banyaknya program yang ada, Ttofi dan Farrington (2011) menemukan program yang berhasil secara efektif yaitu program yang ditargetkan kepada bystander. Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan Craig, Pepler, dan Atlas (2000), ketika bystander mengintervensi atas nama korban, pada saat itu mereka berhasil meredakan bullying lebih dari separuhnya. Perilaku prososial yang dapat dilakukan bystander dapat berupa melaporkan kejadian bullying pada guru dan orangtua, mengumpulkan bala bantuan seperti sekelompok teman sebaya maupun guru untuk menolong korban, maupun melawan pelaku bullying dan melindungi korban bullying dengan usahanya sendiri. Variasi intervensi yang diberikan oleh bystander terhadap bullying berdasarkan adanya perilaku prososial tersebut memiliki efek yang signifikan dalam meredakan bullying. Hal itu terbukti dari berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Kärnä, Voeten, Poskiparta, & Salmivalli, (2010).

Akan tetapi, terdapat pandangan kontra yang menyatakan bahwa bystander tidak memiliki peran yang signifikan dalam mencegah terjadinya bullying. Twemlow, Fonagy, dan Sacco (2004) berargumen bahwa bystander tidak memiliki cukup andil untuk berpartisipasi dalam skenario bullying baik sebagai pelaku maupun korban. Begitu pula dalam eksperimen yang dilakukan oleh Polanin, Espelage, dan Pigott (2012) dengan adanya hasil yang tidak signifikan antara rasa empati terhadap korban dengan aksi menolong korban.

Argumen Twemlow, Fonagy, dan Sacco jelas dapat terbantahkan karena respon dari bystander dapat mengontrol keberlanjutan bullying. Dalam situasi nyata, bystander mampu berperan secara aktif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu memberi reinforcement ataupun menginhibisi aksi bullying. Sekadar tertawaan dari bystander ketika menonton aksi bullying saja sudah cukup untuk me-reinforce pelaku untuk meneruskan aksidnya. Bahkan mereka juga dapat memilih untuk berpihak pada korban atau pelaku. Akibatnya, keberadaan bystander ini menjadi penting dan signifikan dalam mencegah terjadinya bullying.

Kemudian, untuk hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Polanin, Espelage, dan Pigott, meskipun hubungan antara rasa empati terhadap korban dengan aksi menolong korban menunjukkan hasil yang tidak signifikan, namun masih berkorelasi secara positif walaupun tidak berbeda jauh dari poin nol yaitu sebesar .05. Artinya, menumbuhkan rasa empati terhadap korban tetap mendorong terciptanya aksi menolong dari bystander. Hanya saja, secara umum bystander enggan untuk memberi pertolongan dikarenakan adanya faktor lain yaitu mereka takut menjadi target bullying selanjutnya, merasa tidak cukup kuat untuk menghentikan pelaku bullying (Coloroso, 2011), dan karena korban tidak berasal dari kelompok yang sama dengan dirinya (Gini, 2006). Faktor-faktor tersebut kemudian mengalahkan rasa empati mereka yang akhirnya membuat mereka tidak berusaha menolong korban.

Adapun, penelitian dari Konrath, O’Brien, dan Hsing (2011 dalam Baron & Branscome, 2012) melaporkan fenomena turunnya rasa empati pada mahasiswa sekolah tinggi di United States. Faktor yang berpengaruh antara lain gencarnya siaran yang menunjukkan kekerasan secara ekspilit oleh media maupun eksposur terhadap adegan kekerasan secara langsung di dunia nyata, tersebarnya budaya individualisme yang mengutamakan kepentingan diri sendiri sebelum orang lain, dan kemungkinan lainnya adalah maraknya sosial media yang mengurangi interaksi tatap muka dan menganggap seorang teman hanyalah sosok virtual daripada sosok tubuh manusia seutuhnya (Baron & Branscome, 2012). Kemungkinan besar, penurunan rasa empati juga berlaku di Indonesia karena faktor-faktor penyebab yang telah diuraikan di atas pun terjadi di Indonesia saat ini. Padahal, perilaku prososial melibatkan empati untuk mampu melakukan intervensi terhadap bullying. Mengembangkan rasa empati pada siswa meningkatkan perilaku prososial dan menciptakan iklim kelas yang penuh rasa aman serta resistensi tinggi pada bullying (Raskauskas, Gregory, Harvey, Rifshana, & Evans, 2010).

Kesimpulannya, bullying tidak boleh dibiarkan merajalela karena hal ini merupakan fenomena serius dan dampaknya sangat berbahaya hingga mampu mengakibatkan bunuh diri. Dalam bullying, ada tiga peran yang terlibat yaitu pelaku, korban, dan bystander. Bystander yang dahulu dianggap tidak memiliki andil atas terjadinya bullying, kini mulai banyak penelitian yang mengkaji peran bystander. Hasilnya, bystander ternyata memiliki peran yang penting dalam intervensi bullying. Oleh sebab itu, meningkatkan perilaku prososial pada bystander sebagai program pencegahan bullying akan sangat bermanfaat. Tulisan ini secara sederhana berargumen bahwa upaya peningkatan perilaku prososial pada bystander dapat berpengaruh secara signifikan untuk menurunkan angka bullying, namun mengenai bagaimana cara yang efektif untuk meningkatkan perilaku prososial itu sendiri diperlukan adanya studi lebih lanjut di masa mendatang. Selain itu, diperlukan juga kebijakan resmi serta dukungan dari orang dewasa dan pejabat pemerintah khususnya bidang pendidikan mengenai perilaku prososial siswa untuk mengintervensi bullying secara konsisten.



Daftar Pustaka

Baron, R. A., & Branscome, N. R. (2012). Social Psychology 13th ed. Boston: Pearson Education, Inc.
Coloroso, B. (2008). Introduction: The Bully, The Bullied, and The Bystander (hal. xxi-
xxv). New York: HarperCollins Publisher.
Coloroso, B. (2011). Bully, bullied, bystander... and beyond. Education Digest,77(4),
36-3
Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas, R. (2000). Observations of bullying in the
playground and in the classroom. School Psychology International, 21(2), 22–36.
Darley, J. M., & Latane, B. (1968). Bystander intervention in emergencies: diffusion of
responsibility. Journal of personality and social psychology, 8(4p1), 377.
Frey, K. S., Hirschstein, M. K., Edstrom, L. V., & Snell, J. L. (2009). Observed
reductions in school bullying, nonbullying aggression, and destructive bystander behavior: A longitudinal evaluation. Journal of Educational Psychology, 101, 466–481.
Gini, G. (2006). Bullying as a social process: The role of group membership in students'
perception of  inter-group aggression at school. Journal of School Psychology, 44(1), 51-65.
Glew, G. M., Fan, M., Katon, W., Rivara, F. P., & Kermic, M. A. (2005). Bullying,
psychosocial adjustment, and academic performance in elementary school. Pediatric Adolescent Medicine, 159, 1026–1031.
Kärnä, A., Voeten, M., Poskiparta, E., & Salmivalli, C. (2010). Vulnerable children in
varying classroom contexts: Bystanders' behaviors moderate the effects of risk factors on victimization. Merrill-Palmer Quarterly, 56(3), 261-282.
KEN/Muhabar. (2005, July 16). Dipetik November 22, 2014, dari liputan6.com:             http://news.liputan6.com/read/105426/gara-gara-sering-diejek-vivi-gantung-diri
Polanin, J. R., Espelage, D. L., & Pigott, T. D. (2012). A meta-analysis of school-based
bullying prevention programs’ effects on bystander intervention behavior. School Psychology Review, 41(1), 47-65.
Raskauskas, J. L., Gregory, J., Harvey, S. T., Rifshana, F., & Evans, I. M. (2010).
Bullying among primary school children in New Zealand: Relationships with prosocial behaviour and classroom climate. Educational Research, 52(1), 1-13.
Ross, S. W., & Horner, R. H. (2009). Bullying prevention in positive behavior support.
Journal of Applied Behavior Analysis, 42, 747–759.
Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Bjorkqvist, K., Osterman, K., & Kaukianen, A. (1996).
Bullying as a group process: Participant roles and their relations to social status within the group. Aggressive Behavior, 22, 1–12.
Smith, J. D., Twemlow, S. W., & Hoover, D. W. (1999). Bullies, victims, and
bystanders: A method of inschool intervention and possible parental contributions. Child Psychiatry and Human Development, 30, 29–37.
Ttofi, M. M., & Farrington, D. P. (2011). Effectiveness of school-based programs to
reduce bullying: A systematic and meta-analytic review. Journal of Experimental Criminology, 7, 27–56.
Twemlow, S. W., Fonagy, P., & Sacco, F. C. (2004). The role of the bystander in the
social architecture of bullying and violence in schools and communities.Annals of the New York Academy of Sciences, 1036(1), 215-232.
Weir, E. (2001). The health impact of bullying. Canadian Medical Association Journal165(9), 
            1249-1249.

-------------------------------

maaf kalo formatnya sedikit ngaco dikarenakan hasil copas dari word kemari suka kagak bener
gue akan membahas isu sensitif kali ini, yaitu agama

jreng

nggak kok this is not going to be controversial or anything gabakal. gue gak bakal menyudutkan agama manapun, gak ngangkat isu apapun yang lagi hitz, maupun ngaku kalo gue sekarang atheist (which means biasanya sekali orang ngaku atheist langsung diserbu massa dijudge ini itulah)

kagak, gue cuma bakal bikin tulisan ini berdasar dari pengalaman gue, dari kegerahan yang gue rasa. mungkin apa yang gue kemukakan akan sedikit banyak melenceng dari ideologi para pembaca, tapi percayalah gue nulis ini bener2 ga bawa golongan apapun. ini hanya gue, murni gue, nggak ada pengaruh dari kelompok manapun. so, kalo ada yang salah, salahkanlah gue, ga usah ngejudge kalo gue masuk suatu kelompok. cuz no. ima free creature. i move with free will. so if i make mistakes, i take full responsibility. will not blame anyone but myself.

jadi, semacam kaget gue, ketika ada 2 orang berbeda yang mengajukan pernyataan/pertanyaan begini ke gue:

1. mencurigai apakah gue atheist
2. mencurigai gue islam liberal

so my purpose in making this post is to make it all clear.

1. apakah gue atheist?
tidak.

emang, gue pernah kepikiran kalo yang menciptakan agama sebenarnya adalah manusia itu sendiri. manusia dengan segala keterbatasannya ketika melihat dunia ini yang begitu magnificent kemudian beranggapan pasti ada sesuatu di balik semua keluarbiasaan alam ini dan itulah yang manusia sebut Tuhan Yang Menciptakan. dan dengan mengetahui keberadaan Tuhan, manusia merasa lega, merasa memiliki, merasa takut, merasa baik, dll

nah para atheist juga gue rasa memiliki pemikiran yang sama kayak gue

bedanya adalah, ketika para atheist memikirkan hal itu, mereka milih buat escape dari agama2 apapun itu dengan berbagai alasan. seperti mereka menganggap "yaelah jadi Tuhan itu rekaan manusia aja masa bodo gue ama agama, I QUIT.

sedangkan gue, ketika gue kepikiran hal itu, kemudian gue berpikir, oke, manusia mungkin menyadari keberadaan Tuhan ketika melihat begitu besarnya jagat raya ini. tapi itu bukan berarti manusia menciptakan sosok Tuhan. mereka hanya "menyadari" keberadaaannya, bukan "menciptakan" keberadaannya.

sebenernya gue bisa aja terlalu berlogika kemudian menganggap sholat, baca al-quran, shaum, dll itu bodoh

tapi, entah gimana, gue memilih untuk tidak berlogika berlebihan mengenai perintah Tuhan untuk beribadah. gue memilih untuk tidak begitu mempertanyakan "kenapa shaum harus satu bulan? kenapa harus di bulan tertentu aja? kenapa kita harus sholat? kenapa lima waktu? kenapa gerakannya harus sikap? kenapa tangan kanan di atas? kenapa duduk di antara dua sujud diperdebatkan posisi kakinya? kenapa ada yang telunjuknya pas tasyahud akhir goyang2 ada yg diem?"

gue berusaha menahan pertanyaan di otak gue yang sebenernya ga abis2 buat nanyain apa esensi ibadah sebenernya. karena secara substansinya, gue udah paham. hal2 yang gue gak paham adalah hal2 berupa kerikil2 kecil tapi banyak jumlahnya.

tapi, sekali lagi gue gak mikirin itu semua? kenapa? karena gue udah sangat nyaman dengan semua itu. hal yang gak bisa dijelaskan oleh logika adalah gue sangat nyaman melaksanakan sholat and will feel guilty ketika gue ninggalin sholat. sama halnya dengan ibadah yang lain. hal yang gak bisa dijelaskan selanjutnya adalah terkadang gue merasa terhubung. iya, gue akui nggak dalam semua kesempatan gue bisa khusyu menjalankannya. but when i do, itu kerasa banget terhubungnya.

2. Apakah gue islam liberal?
i dunno.

kenapa nggak seperti pertanyaan pertama, di mana gue menjawab "tidak" dengan tegas sedangkan sekarang gue malah jawab "gatau"?

karena, gue sendiri nggak tau apakah orang2 udah bener2 paham apa yang dimaksud dengan islam liberal. emang yang kayak gimanasih islam liberal itu? coba kasih tau ke gue. terus jeleknya tuh apa sih?

gini ya, liberal kan setau w itu berbau kebebasan. jadi, kalo maksudnya nanya ke gue apakah gue setuju dengan kebebasan beragama ya OF COURSE I DO.

tapi kalo nanya apakah gue islam liberal dengan refers to JIL yang pernah hitz beberapa tahun kemaren, ya gimana ya, gue juga gatau banyak tentang perkumpulan itu dan kerjaannya ngapain dan apa yang ngebedain mereka dari aliran2 islam lain dan apa yang lebih bagus atau lebih jelek dari merka dibanding kelompok2 islam lain.......................

kalo maksud pertanyaan lo yang itu, maka jawabannya adalah tidak. karena, gue boro2 tau soal JIL jadi ya gimana caranya gue jadi bagian dari JIL kalo bahkan gue kagak kenal mereka? bagaimana bisa gue se-ideologi ama JIL kalo bahkan gue gak pernah didogmain mereka?


pada intinya, gue menyebut diri gue adalah seorang yang bebas dan anti-dogmatic sih.
gue gerah aja gitu, banyak yang sok2an ngata2in JIL, syiah, dll
giliran ya giliran ditanya JIL itu gimana emang? syiah itu gimana emang? tau gak jawaban mereka apa, "KAGAK TAU DAH YANG JELAS MEREKA JELEK!"
gue bukannya gak suka kalo orang benci JIL atau syiah, yang gue gak suka adalah alasan mereka. coba dong ya sebelum lo memutuskan buat benci sesuatu tuh cari dulu lah alesannya yang bener.

itu sih sama aja lo kayak anak SD yang kalo disuruh ketua geng lu buat musuhin satu anak lo ikut2an padahal lo kagak ada masalah apapun sama anak itu. cemen emang.

cemen emang cuma mau nerima informasi dari satu sisi aja. kagak punya lebih dari satu perspektif. kasian amat yak hidupnya, terdogma gitu ama kelompok.


sebenernya sih gue dulu juga sempet terdogma gitu. gue sempet kok jadi sosok orang yang terkesan fanatik sama agama gue dan kaku. gue berubah seiring dengan gue mengenal banyak orang, termasuk juga berteman baik dengan orang2 yang memiliki kepercayaan yang berbeda.

di situ saya merasa nyaman

dan salah seorang temen non-islam gue pernah cerita ke gue tentang seseorang, sebut saja si A. si A ini adalah temen les gue yang tried so hard ngalahin gue di try out tapi ga pernah berhasil *chuckle*, yang mana gue pada awalnya cukup respect karena rajin beribadah.
tapi temen non-islam gue nggak suka sama dia. jadi mereka ini sekelas dulu waktu SMA, dan si A ini semacam membuat benteng antara orang yang islam dan non-islam, udah gitu si A ini suka bikin forum bareng temen2nya di kelas ngebicarain tentang agamanya dan ngomong kenceng tentang kenistaan orang kafir kenceng2 di mana orang non-islam yang sekelas sama dia juga bisa denger
dan iya, temen gue yang non-islam ampe gerah, bahkan dia dan temen2 non-islamnya ampe ga tahan diem di kelas kalo si A udah buka forum.

gue sebagai manusia yang punya trust issues tentu aja gak langsung percaya sama cerita temen gue itu. terus gue pake perbandingan. yaitu si iqbal, temen gue waktu kita osis smp dan juga sangat islami banget itu.
"dia islami banget kayak si iqbal gitu?"
"ya nggaklah mir, kalo iqbal mah masih ada toleransinya, masih mau lah ngobrol ama gue,masih mau lah temenan ama non-islam dan dia juga diem2 aja kalo ngomong tentang islam atau agama tuh yang baik2. si A mah boro2. bikin kesel ngedenger omongannya."

di situ temen non islam gue merasa tidak nyaman

dan setelah gue temenan di facebook, melihat apa yang biasa diposting oleh si A. ah, gue merasa mengerti. emang sih banyak yang cukup bikin gerah. sebenernya dia ini mau apa ya, padahal islam itu agama yang damai dan penuh toleransi loh. apa dia terlalu dogmatik ampe lupa hal2 itu? ah mungkin temen facebooknya orang islam semua jadi dia merasa bebas. yaudahlahya gapapa berdakwah di sosmed, tapi yang adem dong. kayak temen gue, asyifa, postingannya tentang islam tapi yang adem2, emang elu.

gini deh ya, gue kan menganggap kebebasan agama itu hal yang benar, jadi gue merangkul semuanya dan menganggap agama apapun seseorang kalo dia baik maka dia bisa jadi temen gue

sedangkan that dogmatic one menganggap agama itu gak bebas karena agama itu yang bener cuma satu dan itu tuh islam, lantas dia hanya mau temenan ama orang islam dan mengintimidasi orang non-islam dengan perangai dan lisannya??????????????? hallo(halo bandung)??????????????????
lah gimana toh mas lo berharap seluruh manusia memeluk islam tapi lo gak mau mendekatkan diri ke mereka semua???????????????????????
cuma mau barengan grup yang sepikiran ama lu doang??????????????????????????????????

so yeah
gue gak atheist
dan gue mungkin gak islam liberal (depends on your interpretation, CUZZZ gue juga ga ngerti emang islam liberal tuh yang gimana tah? coba kalo ada yg judge gue islam liberal silakan sertakan alasan dan buktinya)
men
walopun gue menganggap diri gue baik2 aja
ternyata
gak ketemu selama mmmmmmm setahun(?) ya 14 bulan lah ya
itu mengerikan
mengerikan buat gue
gue merasakan perasaan semacam kangen
anjir
anjir
kenapa
gue
alay
or is it just the power of time
balikin gue ke masa sma
ada yg harus gue ubah
*cries in japanese*
tepatnya awal baru masuk sma
uhuk ohok uwohok

men kenapa ini gak semudah
"bro, kangen, ketemu yok!"
"ayo aja di mana?"
"di.........bzzzzzzzz bzzzzzzzzzz"
"ok."

kenapa gak semudah itu toh toh toh gwwwwwww hanya kangen kan, hanya pengen ketemu
tapi kenapa gitu ngomong gitu ke manusia itu teh gak semudah ke temen cowok gw yg lain yaela
naha aing era
kzl
hrrrrrr

btw gue kangen ke bibip barengan lagi sama temen gue yg kangen ke temennya bibip WAKAKAKAKAKAKAKAKA
ah serah. gile juga.
wanjas judulnya udah kayak skripsi

jadi gini, sekarang gue lagi di kamar kosan
lagi tidur-tiduran
udah ganti posisi segala macem, udah sikap lilin juga

terus gue meluruskan lengan gue, dengan bagian pinggir wajah gue tiduran di atas lengan gue
lalu gue............gue.............
membisikkan sebuah kata................

"......................demot."

maksud gue.
WOY
WOY
WOOOOOOOOOOOOOOOY (FONTSIZE 72)

DEMOT GIMANE?
lu udah liburan, udah kelar uas, udah kagak ada tuas
DEMOT APENYE

gue kagak ngerti ye ini suasana kamar gue emang racun abis. gue seringkali merasa demot waktu lagi ngerjain tugas atau belajar buat uas di sini.
kirain cuma sampe tahap itu aja eh bahkan sekarang gue yang lagi super duper rileks kagak banyak stimulus TETEP DEMOT

LHAAAAAAAAAAAAAAAAAA~~~~~~~~~~~~?????????????

ya maap maap aja ya kalo sejak pindah kosan gue jadi lebih sering balik, biasanya balik 2 minggu sekali sekarang bisa seminggu sekali.............abis..............di sini...............demot....................
sudah terbukti, bahkan ketika gue lagi ga stres pun gue mendadak demot. lah.

ini kenapa ya-_- apa kamar gue kurang dingajiin-_- apa kurang disolatin-_- apa apa apa apa...............duh w bingung

atau semua kamar kosan emang gini ya

bedanya kosan gua yg sekarang sama kosan gua yang lama.........hmmmmmmmmmm

sekarang kamar gue ga ada ac, tapi bagi gue itu ga terlalu masalah soalnya dulu juga gue jarang bgtbgt ngidupin ac

sekarang ga ada kulkas, gue tidak tahu ini bikin gue demot apa gak. but sometimes gue emang perlu minuman dingin buat lebih fresh sih

sekarang ga ada tv, tapi akan segera dibawakan. mungkin bisa jadi faktor demot gue sih yang satu ini, mengingat gue orangnya perlu banget yang namanya stimulus audio. even its just a noise. bisa gila gue kalo gak denger suara apapun dalam waktu lama.

sekarang kamar mandi di luar, tapi justru enak karena gw gaperlu bersiin tiap minggu (dibersiin ibunya hahay), dan anti kecoak men hwhwhwhw tapi sayangnya di kamar mandi selalu ada cicak-_-

sekarang ga ada kabel lan super cepet. nah ini mungkin faktor utamanya hiksu

tapi di samping itu sebenernya ini kosan super strategis kagak kayak kosan gue dulu pedaleman abish mana nanjak. sekarang gw mau ke margonda tinggal tutup mata nyampe. ehserius.

yaudahlah gw hanya bisa nyemangatin diri aja wkwkwkwkzzz
I felt dizzy after watching The Theory of Everything
At the first time I just wanted to focus on how he survive with that motor disorder (from what I learned in college, that was Lou Gehrig's disease, isn't it?). I kinda curious with motor behavior disease afterall.
I didn't expect much romances and baper thing indeed
BUT i end up becoming insane cuz that woman keep cheated on him AND i really want him to take revenge on her
grah why so dra-maaa-h
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home