Tugas ini tentang cicak. Ew, cicak adalah organisme yang sangat geli buat gua dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Dia nggak peka
Ketika gue shuuush shuuush-in (maksudnya ngusir) dia tetep bergeming
2. Dia kegeeran
Nah ini lebih parah dari nggak peka. Maksud hati ngusir, dia malah ngedeketin. Gatel bener jadi makhluk.
4. Suka show-off
Yaudasi siapa juga yang mau ngeliat elu. Silakan kalo mau nyari makan di balik lemari atau kursi atau apapun gue ga masalah gausah nunjukin diri lo depan manusia kzl
5. Kalo kawin kayak film india
Kejar-kejaran geli
6. Pemanjat yang payah
Karena dia seringkali jatuh....................
7. Menyalahi lagu nasional bangsa percicakan
"cicak-cicak di dinding diam-diam merayap.........."
TAPI CICAK INI MALAH KE LANGIT-LANGIT
udah gitu suka jatuh nimpuk manusia
KAN GELI
TERUS CICAK INI MALAH MERAYAP DI LANTAI
udah dikasih kelebihan bisa menguasai bidang vertikal malah horizontal
KAN NTAR LU KEINJEK AMA MANUSIA
DAN ITU GELI ABIS
8. CICAK ITU MAKHLUK PALING GAJELAS
oke lah langsung aja ini dia tugas gue.............. semoga menginspirasi
--------------------------------------------------------------------------------------
Tugas 03: Self Control
MK Psikologi Belajar
Semester Genap Tahun Akademik 2014/2015
Program Sarjana, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Nama : Amira Budi
Mutiara
NPM : 1406576130
“Self-Control: Fobia
terhadap Cicak dan Strategi Mengubahnya”
Oleh Amira Budi Mutiara, 1406576130
Pendahuluan
Tingkah laku yang paling
merugikan penulis dan paling sulit untuk dihilangkan adalah fobia terhadap
cicak. Fobia yang penulis alami terhadap cicak ini telah terakuisisi sejak
bertahun-tahun lamanya. Oleh karena begitu lamanya keberlangsungan fobia inilah
sehingga tingkah laku tersebut sulit sekali untuk dihilangkankan. Fobia yang
penulis alami ini juga cukup berat
karena penulis bukan hanya takut ketika bersentuhan langsung dengan cicak,
namun penulis juga sudah merasa geli, jijik, dan gelisah hanya dengan
melihatnya saja. Penulis bahkan tidak sanggup untuk melihat gambar cicak walau
hanya di buku atau televisi.
Dari
rasa fobia penulis terhadap cicak, timbul berbagai kerugian yang menyulitkan
kehidupan penulis sehari-hari. Misalnya saja, karena penulis tidak mau satu ruangan
dengan cicak, ketika penulis menemukan cicak ada di dalam toilet, maka penulis
akan berusaha keras untuk menahan diri supaya tidak masuk ke dalam toilet
sekalipun sebelumnya penulis memiliki keinginan kuat ingin buang air. Kerugian
lainnya adalah penulis sering kali merasa gelisah ketika tiba-tiba merasakan
ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam sepatu atau di dalam celana panjang
penulis. Biasanya perasaan seperti itu menimbulkan tingkah laku berulang berupa
mengecek isi sepatu atau menyentuh bagian celana panjang di sekitar betis untuk
memastikan tidak ada cicak di dalamnya. Hal-hal tersebut tentu merugikan diri
penulis. Penulis tersiksa ketika harus menahan buang air hanya karena ada cicak
di dalam toilet. Sedangkan, menahan buang air juga akan berdampak buruk bagi
kesehatan terutama ginjal dan sistem pencernaan. Selain itu, kekhawatiran berlebih terhadap adanya cicak di
dalam sepatu atau celana panjang penulis dapat memecah konsentrasi penulis
terutama jika saat itu penulis sedang melakukan pekerjaan yang membutuhkan
konsentrasi penuh seperti ketika sedang ujian. Oleh karena berbagai gangguan
yang telah penulis paparkan di atas, penulis berharap tingkah laku penulis ini
dapat berubah secepatnya. Perubahan ini dapat diakuisisi setelah melakukan
proses flooding therapy selama 21
hari, karena menurut banyak psikolog, 21 hari adalah waktu yang cukup bagi
manusia untuk membentuk kebiasaan (Lomax, 2013). Ekspektasi penulis terhadap
perubahan tingkah laku baru yang diinginkan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Analisis Tingkah Laku
Sebelum penulis menginjak sekolah
dasar, cicak merupakan stimulus netral (NS) bagi penulis. Pada saat itu penulis
belum menganggap cicak sebagai sesuatu yang aversif bagi diri penulis karena
penulis belum memiliki pengalaman aversif yang berasosiasi dengan cicak. Fobia
penulis terhadap cicak berawal ketika pada suatu hari di saat penulis sudah
menginjak sekolah dasar, penulis menyentuh piano tua di rumah kakek penulis.
Saat penulis membuka tutupnya, penulis melihat beberapa bangkai cicak
bergelimpangan di atas tuts-tuts piano. Penulis pun merasa jijik dan takut.
Proses
learning (classical conditioning):
Cicak
(NS) → Tidak Berespon
Bangkai
(US) → Jijik dan Takut (US)
Cicak
(NS) + Bangkai (US) → Jijik dan Takut (UR)
Cicak
(CS) → Jijik dan Takut (CR)
Menurut Mineka (1985 dalam Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 357),
manusia dapat mengalami fobia yang kuat walaupun hanya satu kali mengalami
peristiwa yang menyakitkan atau menakutkan. Meskipun begitu, kekuatan dan
kegigihan fobia dapat terus meningkat dengan bertambahnya pengalaman aversif. Fobia
yang penulis alami terhadap cicak juga terus berkembang dan menguat melalui
pemasangan cicak (CS) dengan US (bangkai) yang terjadi berulang kali dalam
waktu yang berdekatan dengan proses akuisisi pertama hingga akhirnya mencapai
asimtot (titik stabil). Kejadian-kejadian yang penulis alami dengan cicak pun
semakin bervariasi seperti kejatuhan cicak, menginjak cicak, dan dirayapi cicak
di rambut penulis. Kejadian-kejadian itu membuat penulis semakin takut dan
semakin tersensitisasi dengan cicak.
Setelah lama mengalami fobia terhadap
cicak, penulis mengalami aplikasi praktis dari classical conditioning yaitu proses overgeneralization.
Overgeneralization adalah proses di mana respon terkondisi pada satu
kejadian telah menjadi tergeneralisasi secara berlebihan pada kejadian lainnya
yang tidak berbahaya (Powell, Honey, &
Symbaluk, 2013, hal. 190). Pada mulanya, penulis hanya takut pada cicak.
Selanjutnya, penulis mulai menunjukkan ketakutan yang sama pada stimulus yang
mirip atau serupa dengan cicak seperti kadal dan tokek. Tidak cukup sampai di
situ, penulis juga merasa cukup takut terhadap reptil lainnya yang hanya
memiliki sedikit kemiripan dengan cicak yaitu katak, bunglon, dan ular. Dengan
demikian, respon takut penulis terhadap cicak tampaknya tergeneralisasi pada
objek-objek yang serupa dengan CS.
Lebih parahnya lagi, penulis juga mengalami higher-order conditioning, yaitu adanya stimulus baru yang diasosiasikan dengan
CS kemudian menjadi CS tambahan (Powell, Honey,
& Symbaluk, 2013, hal. 145).
Menurut Helmstetter & Fanselow
(1989), higher-order conditioning yang
juga disebut second-order mengacu
pada proses di mana stimulus yang telah menciptakan kemampuan mengontrol respon
melalui hubungan langsung dengan kejadian biologis yang signifikan, dapat
secara subsekuen dipasangkan dengan stimulus netral, menunjang proses conditioning selanjutnya. Hal ini
sangat berkaitan dengan proses manusia dalam mempelajari asosiasi di antara dua
atau lebih kejadian. Dalam fobia yang penulis alami, proses higher-order conditioning ini terjadi
secara bertahap.
Setelah pada kejadian sebelumnya
penulis merasa jijik dan takut terhadap cicak, di kejadian selanjutnya penulis
mengalami kejadian yang melibatkan pemasangan antara cicak dengan sepatu. Pada
saat itu, ketika penulis sedang mengenakan sepatu, penulis merasa ada sesuatu
di bagian dalam ujung sepatu tersebut yang menggeliat-geliat di jari-jari kaki
penulis dan ternyata itu adalah cicak. Akibatnya, setiap penulis memakai
sepatu, penulis merasa jijik dan takut karena ingat terhadap kejadian itu.
Penulis juga sering kali gelisah dan berhalusinasi jika di dalam sepatu penulis
ada cicak meskipun penulis selalu terlebih dahulu memeriksa bagian dalam sepatu
sebelum mengenakannya. Akan tetapi, tetap saja respon takut dan jijik yang
penulis rasakan terhadap sepatu lebih lemah dibanding respon takut dan jijik
yang penulis rasakan terhadap cicak.
Ketika penulis melakukan avoidance atau menghindar dari stimulus
aversif yang dalam konteks ini adalah cicak, hal ini sesuai dengan proses dasar
dalam classical conditioning yaitu
S-S (stimulus-stimulus) model. Model S-S menekankan adanya asosiasi langsung
antara NS dengan US sehingga memunculkan respon yang menyerupai UR (Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 175-176).
Misalnya, pada saat penulis menghindari cicak, penulis bukan semata-mata
menghindari cicak (NS), namun menghindarinya karena ingat di pengalaman
sebelumnya penulis pernah kejatuhan
cicak (US).
Perilaku menghindar dari stimulus
aversif rupanya tidak melibatkan proses classical
conditioning semata. Mowrer (1960) mengenalkan two-process theory of avoidance learning yang mengemukakan bahwa
ada dua proses yang berperan dalam mempelajari respon avoidance, yaitu: 1) takut terhadap CS (classical conditioning) dan 2) menghindar dari CS (operant behavior). Operant behavior adalah seluruh perilaku yang dipancarkan oleh
makhluk hidup yang menghasilkan efek atau konsekuensi, dan operant mengacu pada kelas respon-respon yang memiliki suatu
konsekuensi (Chiesa, 1992). Perilaku menghindar yang dimunculkan tidak
dilakukan secara refleks melainkan emitted
atau dilakukan dengan sengaja. Dalam kasus fobia terhadap cicak, setelah
pertama-tama penulis merasa takut terhadap cicak (classical conditioning), di kesempatan selanjutnya ketika penulis
bertemu cicak lagi penulis akan dengan sigap menghindarinya (operant behavior), di mana menghindar
dari CS adalah bentuk negative
reinforcement dengan mengurangi rasa takut.
Dengan terciptanya akuisisi rasa takut terhadap cicak
yang disertai dengan overgeneralization
terhadap stimulus-stimulus lain yang serupa dengan cicak dan ketakutan terhadap
stimulus yang berhubungan dengan cicak dalam proses higher-order conditioning, kekuatan rasa takut penulis terhadap
cicak terus semakin bertambah kekuatannya hingga sulit untuk dihilangkan.
Apalagi, penulis juga terus melakukan avoidance
terhadap cicak. Berkat avoidance,
emosi negatif penulis yaitu takut memang berkurang namun di sisi lain penulis
jadi tidak pernah berani untuk berhadapan dengan cicak. Sangat sulit untuk
menghindari perilaku avoidance karena
perilaku avoidance itu memberikan reward yang segera terhadap penulis.
Rancangan Perubahan Tingkah Laku
Meskipun
sulit dihilangkan, bukan berarti fobia tidak bisa dimodifikasi. Fobia justru
sangat rentan terhadap terapi berbasis
prinsip tingkah laku dari classical
conditioning (Powell, Honey, & Symbaluk,
2013, hal. 201). Terapi yang penulis terapkan untuk menghilangkan fobia
terhadap cicak adalah flooding therapy:
terapi perilaku yang melibatkan eksposur berkepanjangan terhaadap stimulus yang
ditakuti, yang secara maksimal menyediakan kesempatan pada respon takut
terkondisi untuk dapat hilang (Spiegler &
Guevremont, 2010 dalam Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, hal. 205). Flooding therapy memiliki dua tipe yaitu
imaginal flooding yaitu dengan cara
membayangkan hal yang ditakuti dan in vivo flooding yaitu dengan eksposur
berkepanjangan terhadap hal yang ditakuti secara aktual (Powell, Honey, & Symbaluk, 2013, 205-206). Tipe flooding therapy yang penulis pilih
adalah in vivo flooding dengan
alasan: 1) cicak dapat ditemui dengan mudah secara nyata, dan 2) banyak
penelitian-penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa in vivo flooding efektif dalam menangani fobia seperti misalnya
pada penelitian Bandura, Blanchard, dan Ritter pada tahun 1969 (Hoffman, 2009).
Prosedur in
vivo flooding ini akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu yang
cukup lama yaitu 45 menit selama 21 hari berturut-turut. Pertama-tama, penulis
akan memberikan perintah kepada diri penulis untuk berada dalam satu ruangan
bersama cicak di dalam kandang dengan jarak yang cukup jauh hingga penulis
mencoba untuk mendekatinya terus sampai berusaha menyentuhnya. Penulis juga
dapat memberi feedback pada diri
penulis mengenai kemajuan yang telah penulis alami dengan menggunakan skala Behavioral Avoidance Test Score Assessment oleh Mitchell (1981). Semakin kecil poin yang
penulis dapat artinya semakin penulis mengalami kemajuan untuk bisa mengubah
tingkah laku penulis terhadap cicak.
Waktu
yang dibutuhkan untuk setiap langkah yaitu kurang lebih 2 menit dengan total
waktu 45 menit dari langkah 23 sampai langkah 1. Setiap kali penulis
menyelesaikan satu langkah lebih dekat dengan cicak, penulis akan merasa bangga
terhadap diri penulis sendiri. Rasa bangga tersebut dapat menjadi reinforcer terhadap diri penulis untuk
memperkuat tingkah laku penulis selanjutnya. Penulis juga akan menerapkan
prinsip delay of gratification,
kemampuan untuk berusaha mencapai tujuan dan menolak godaan yang akan
menghambat tercapainya tujuan itu (Cuskelly & Stubbins, 2007). Artinya, penulis harus
mengontrol diri untuk tidak melakukan avoidance
karena avoidance memang akan memberi immediate reinforcement kepada penulis namun penulis akan gagal
mendapatkan reinforcer yang lebih
besar nantinya yaitu tidak fobia lagi terhadap cicak. Agar penulis bisa lebih
mendisiplinkan diri untuk menyelesaikan langkah-langkah tersebut sampai akhir,
jika penulis berhasil menyelesaikannya maka penulis akan memberi reinforcement kepada diri penulis yaitu
tiga porsi sushi unagi (belut),
makanan yang sangat penulis sukai. Sebaliknya, jika gagal, penulis akan memberi
punishment kepada diri sendiri yaitu
tidak boleh makan sushi unagi selama
satu tahun dan tidak boleh menggunakan internet selama satu minggu selama liburan.
Setelah penulis berhasil
menyelesaikan proses flooding therapy, penulis berharap ketakutan
penulis terhadap cicak dapat berkurang. Selain itu, penulis juga memiliki
ekspektasi tingkah laku baru yang akan terbentuk yaitu: 1) berani untuk berada
di dalam satu ruangan dengan cicak, 2) tidak melakukan avoidance ketika melihat cicak berada di dekat penulis, dan 3)
tidak lagi gelisah maupun berhalusinasi tentang adanya cicak yang menempel di
tubuh penulis. Dengan demikian, cicak kembali menjadi stimulus netral bagi
penulis yang penulis persepsikan tidak aversif sehingga tidak lagi merugikan
diri penulis seperti sebelumnya.
Terciptanya fobia terhadap cicak diperoleh melalui
proses classical conditioning yang
berkembang ke tahap overgeneralization
dan higher-order conditioning.
Tingkah laku yang bertahan dan paling menonjol adalah tingkah laku avoidance dari cicak berdasarkan proses
S-S model dan two-process theory yang
mengintegrasikan antara classical
conditioning dengan operant
conditioning. Akan tetapi, fobia terhadap cicak ini masih dapat dihilangkan
dengan flooding therapy. Apabila flooding therapy ini dijalankan dengan
konsisten dalam kurun waktu yang telah ditentukan, penulis berekspektasi
tingkah laku baru yang lebih diinginkan dapat menggantikan tingkah laku lama
yang merugikan.
Daftar Pustaka
Chiesa, M. (1992). Radical
behaviorism and scientific frameworks: From mechanistic to relational
accounts. American psychologist, 47(11), 1287.
Cuskelly,
M., & Stubbins, P. (2007). Self-imposed delay of gratification in
adolescents with Down
syndrome. Journal on Developmental Disabilities, 12(1-Supplement
2), 19-28.
Helmstetter, F. J., & Fanselow, M. S. (1989). Differential
second-order aversive conditioning using
contextual stimuli. Animal Learning & Behavior, 17(2), 205-212.
Hoffman,
D. L. (2009). Comparative
effects of virtual reality exposure and imaginal exposure
therapy on reduction.
Lomax,
R. (2013). The
Power of Positive Thinking: Untold Secrets About Positive Thinking Tips,
Positive Thinking Affirmations, Positive Thinking
Exercises, Positive Thinking Quotes.
Mitchell,
D. C. (1981). The
Effect of Dissonance Reduction in Psychotherapy: A Reexamination.
Mowrer, O.H. (1960). Learning theory and behavior. New York, NY: Wiley.
Powell, R. A., Honey, P. L., & Symbaluk, D. G. (2013). Introduction
to Learning and Behavior
(4th ed.). Cengage Learning.
0 comments:
Post a Comment