Bayar Nazar (huehehe): Esai Psisos

singkat aja sih, gue nazar kalo misal esai gue dapet nilai lebih dari 80, gue bakal post di sini ya itung-itung bagi ilmu atau kalo ada maba psikologi/yang mau masuk psikologi yang penasaran tugas-tugas di psikologi kayak gimana sih?

gue kasih tau ya di tahun pertama kalian bakal disibukkin sama ESAI! meskipun begitu gue sih gak muak disuruh bikin esai, masih lebih asik daripada analisis jurnal, makalah, paper, dll :'v

oh iya asal kalian tau gue tuh ganti topik di h-1 ngumpulin :v jadi ceritanya tadinya gue bikin tentang konformitas, udah konsultasi 2x sama mbaknya tentang konformitas dan sebenernya cukup oke tapi kok gue nggak sreg, nyari jurnalnya juga gak maksimal. gue nekat deh ganti topik tanpa konsul dulu. tapi gue gak nyesel, karena kalo gue pake topik yang konformitas kayaknya nilai gue gak bakal dapet segini :v

so yaudahya ini diaaaa esai Psikologi Sosial gue *ba dum tssss*

Pentingnya Meningkatkan Perilaku Prososial pada Bystander untuk Mengintervensi Bullying di Lingkungan Sekolah
Oleh Amira Budi Mutiara, 1406576130
Kelas Psikologi Sosial A


Bullying adalah fenomena yang kerap terjadi di lingkungan sekolah. Dampak dari bullying ini pun tidak main-main, salah satunya adalah bunuh diri. Vivi Kusrini, gadis berusia 13 tahun ditemukan gantung diri di kamar mandi rumahnya karena merasa malu terus-menerus diejek sebagai anak tukang bubur oleh teman-temannya di sekolah (KEN/Muhabar, 2005). Tidak hanya di Indonesia, kasus bullying juga terjadi di lingkungan sekolah dari berbagai belahan dunia seperti yang terarngkum dalam buku The Bully, The Bullied, and The Bystander yang ditulis oleh Coloroso (2008, hal. xxi-xxv). Bullying telah mematahkan semangat hidup mereka yang terlibat di dalamnya dengan keputusasaan. Begitu buruknya dampak dari bullying ini hingga menjadikannya sebagai masalah serius yang harus diberantas, khususnya di lingkungan sekolah. Berbagai penelitian terbaru mengindikasikan bystander memegang peran yang penting untuk mengintervensi bullying. Oleh karena itu, meningkatkan perilaku prososial pada bystander adalah strategi yang efektif untuk menurunkan angka kejadian bullying di sekolah.

Bullying didefinisikan sebagai tindakan berulang oleh satu individu atau lebih yang secara sengaja mengganggu atau membahayakan individu lain yang tidak berdaya untuk membela diri (Weir, 2001). Dalam konteks lingkungan sekolah, Frey, Hirschstein, Edstrom, dan Snell (2009) mendeskripsikan bullying sebagai konstruksi sosial yang mengganggu hubungan sosial di kalangan siswa. Terdapat beberapa wujud bullying yaitu ancaman, kekerasan fisik, penolakan, julukan, menggoda, menyebarkan rumor, dan pengambilan barang-barang pribadi (Weir, 2001). Pada umumnya, terjadi ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan korban bullying di mana korban lebih lemah secara psikologis maupun secara status sosial (Ross & Horner, 2009). Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi bullying yang dimaksud dalam tulisan ini adalah tindakan mengganggu siswa lain yang lebih lemah secara berulang.

Bullying telah didefinisikan ulang dari interaksi yang diadik (pelaku-korban) menjadi triadik (pelaku-korban-bystander) (Twemlow, Fonagy, & Sacco, 2004). Interaksi yang terjadi di dalamnya tidak hanya berlangsung di antara dua pihak, melainkan adanya keberadaan pihak ketiga yang disebut sebagai bystander. Bahkan, proporsi individu terbesar dalam sebuah sistem sekolah memainkan peran sebagai bystander dalam bullying (Glew, Fan, Katon, Rivara, & Kermic, 2005). Dengan begitu banyaknya kuantitas bystander di sekolah, tidak heran jika mereka dapat secara aktif mengintervensi bullying agar berhenti, mendorong bullying agar terus berjalan, atau bisa juga hanya menyaksikan secara pasif (Smith, Twemlow, & Hoover, 1999). Belum banyak penelitian yang mengkaji bullying melalui perspektif bystander meskipun bystander ini memiliki peran yang penting dalam bullying dan mengkajinya akan sangat bermanfaat. Bystander dapat berperan sebagai reinforcement bagi pelaku bullying, misalnya dengan menertawakan korban bullying saat di-bully, dan sebaliknya, bystander juga dapat menginhibisi pelaku bullying apabila dia menunjukkan perilaku prososial dengan menolong korban bullying (Salmivalli, Lagerspetz, Bjorkqvist, Osterman, & Kaukianen, 1996).

Perilaku prososial adalah aksi dari seorang individu yang menolong orang lain tanpa adanya balasan berupa keuntungan secara langsung kepada si penolong (Baron & Branscome, 2012). Perilaku prososial ini sangat penting untuk dimiliki para bystrander. Ketika bullying terjadi, seorang bystander pertama-tama harus peka bahwa ada sesuatu yang tidak biasa sedang berlangsung kemudian menginterpretasikan kejadian tersebut sebagai keadaan darurat sehingga di langkah selanjutnya dia dapat menentukan apa yang akan dilakukannya untuk bisa menolong korban (Baron & Branscome, 2012). Jika langkah-langkah yang krusial tersebut diterapkan, perilaku menolong akan diproduksi. Sebaliknya, jika sejak awal bystander gagal untuk peka terhadap situasi, dia pun tidak akan memunculkan upaya menolong korban. Faktor lainnya yang terlibat dalam perilaku prososial adalah empati, yaitu kemampuan untuk bisa merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpati terhadap mereka, dan mampu melihat dari sudut pandang mereka (Baron & Branscome, 2012). Perilaku prososial juga dapat terhambat oleh fenomena yang dikenal sebagai bystander effect yaitu semakin banyak bystander yang hadir sebagai saksi dalam keadaan darurat, semakin sedikit kemungkinan salah satu di antara mereka memberikan bantuan dan semakin besar keterlambatan waktu datangnya bantuan (Baron & Branscome, 2012). Dengan kata lain, terdapat difusi tanggung jawab yang semakin tersebar seiring dengan semakin besarnya jumlah bystander karena mereka saling berasumsi jika orang lain akan segera menolong korban (Darley & Latane, 1968). Untuk mencegah terjadinya bystander effect ini, seorang siswa yang merupakan bystander haruslah sigap dan memiliki inisiatif yang tinggi untuk berperilaku prososial.

Telah banyak program pencegahan bullying yang diselenggarakan dengan beraneka macam strategi. Dari banyaknya program yang ada, Ttofi dan Farrington (2011) menemukan program yang berhasil secara efektif yaitu program yang ditargetkan kepada bystander. Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan Craig, Pepler, dan Atlas (2000), ketika bystander mengintervensi atas nama korban, pada saat itu mereka berhasil meredakan bullying lebih dari separuhnya. Perilaku prososial yang dapat dilakukan bystander dapat berupa melaporkan kejadian bullying pada guru dan orangtua, mengumpulkan bala bantuan seperti sekelompok teman sebaya maupun guru untuk menolong korban, maupun melawan pelaku bullying dan melindungi korban bullying dengan usahanya sendiri. Variasi intervensi yang diberikan oleh bystander terhadap bullying berdasarkan adanya perilaku prososial tersebut memiliki efek yang signifikan dalam meredakan bullying. Hal itu terbukti dari berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Kärnä, Voeten, Poskiparta, & Salmivalli, (2010).

Akan tetapi, terdapat pandangan kontra yang menyatakan bahwa bystander tidak memiliki peran yang signifikan dalam mencegah terjadinya bullying. Twemlow, Fonagy, dan Sacco (2004) berargumen bahwa bystander tidak memiliki cukup andil untuk berpartisipasi dalam skenario bullying baik sebagai pelaku maupun korban. Begitu pula dalam eksperimen yang dilakukan oleh Polanin, Espelage, dan Pigott (2012) dengan adanya hasil yang tidak signifikan antara rasa empati terhadap korban dengan aksi menolong korban.

Argumen Twemlow, Fonagy, dan Sacco jelas dapat terbantahkan karena respon dari bystander dapat mengontrol keberlanjutan bullying. Dalam situasi nyata, bystander mampu berperan secara aktif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu memberi reinforcement ataupun menginhibisi aksi bullying. Sekadar tertawaan dari bystander ketika menonton aksi bullying saja sudah cukup untuk me-reinforce pelaku untuk meneruskan aksidnya. Bahkan mereka juga dapat memilih untuk berpihak pada korban atau pelaku. Akibatnya, keberadaan bystander ini menjadi penting dan signifikan dalam mencegah terjadinya bullying.

Kemudian, untuk hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Polanin, Espelage, dan Pigott, meskipun hubungan antara rasa empati terhadap korban dengan aksi menolong korban menunjukkan hasil yang tidak signifikan, namun masih berkorelasi secara positif walaupun tidak berbeda jauh dari poin nol yaitu sebesar .05. Artinya, menumbuhkan rasa empati terhadap korban tetap mendorong terciptanya aksi menolong dari bystander. Hanya saja, secara umum bystander enggan untuk memberi pertolongan dikarenakan adanya faktor lain yaitu mereka takut menjadi target bullying selanjutnya, merasa tidak cukup kuat untuk menghentikan pelaku bullying (Coloroso, 2011), dan karena korban tidak berasal dari kelompok yang sama dengan dirinya (Gini, 2006). Faktor-faktor tersebut kemudian mengalahkan rasa empati mereka yang akhirnya membuat mereka tidak berusaha menolong korban.

Adapun, penelitian dari Konrath, O’Brien, dan Hsing (2011 dalam Baron & Branscome, 2012) melaporkan fenomena turunnya rasa empati pada mahasiswa sekolah tinggi di United States. Faktor yang berpengaruh antara lain gencarnya siaran yang menunjukkan kekerasan secara ekspilit oleh media maupun eksposur terhadap adegan kekerasan secara langsung di dunia nyata, tersebarnya budaya individualisme yang mengutamakan kepentingan diri sendiri sebelum orang lain, dan kemungkinan lainnya adalah maraknya sosial media yang mengurangi interaksi tatap muka dan menganggap seorang teman hanyalah sosok virtual daripada sosok tubuh manusia seutuhnya (Baron & Branscome, 2012). Kemungkinan besar, penurunan rasa empati juga berlaku di Indonesia karena faktor-faktor penyebab yang telah diuraikan di atas pun terjadi di Indonesia saat ini. Padahal, perilaku prososial melibatkan empati untuk mampu melakukan intervensi terhadap bullying. Mengembangkan rasa empati pada siswa meningkatkan perilaku prososial dan menciptakan iklim kelas yang penuh rasa aman serta resistensi tinggi pada bullying (Raskauskas, Gregory, Harvey, Rifshana, & Evans, 2010).

Kesimpulannya, bullying tidak boleh dibiarkan merajalela karena hal ini merupakan fenomena serius dan dampaknya sangat berbahaya hingga mampu mengakibatkan bunuh diri. Dalam bullying, ada tiga peran yang terlibat yaitu pelaku, korban, dan bystander. Bystander yang dahulu dianggap tidak memiliki andil atas terjadinya bullying, kini mulai banyak penelitian yang mengkaji peran bystander. Hasilnya, bystander ternyata memiliki peran yang penting dalam intervensi bullying. Oleh sebab itu, meningkatkan perilaku prososial pada bystander sebagai program pencegahan bullying akan sangat bermanfaat. Tulisan ini secara sederhana berargumen bahwa upaya peningkatan perilaku prososial pada bystander dapat berpengaruh secara signifikan untuk menurunkan angka bullying, namun mengenai bagaimana cara yang efektif untuk meningkatkan perilaku prososial itu sendiri diperlukan adanya studi lebih lanjut di masa mendatang. Selain itu, diperlukan juga kebijakan resmi serta dukungan dari orang dewasa dan pejabat pemerintah khususnya bidang pendidikan mengenai perilaku prososial siswa untuk mengintervensi bullying secara konsisten.



Daftar Pustaka

Baron, R. A., & Branscome, N. R. (2012). Social Psychology 13th ed. Boston: Pearson Education, Inc.
Coloroso, B. (2008). Introduction: The Bully, The Bullied, and The Bystander (hal. xxi-
xxv). New York: HarperCollins Publisher.
Coloroso, B. (2011). Bully, bullied, bystander... and beyond. Education Digest,77(4),
36-3
Craig, W. M., Pepler, D., & Atlas, R. (2000). Observations of bullying in the
playground and in the classroom. School Psychology International, 21(2), 22–36.
Darley, J. M., & Latane, B. (1968). Bystander intervention in emergencies: diffusion of
responsibility. Journal of personality and social psychology, 8(4p1), 377.
Frey, K. S., Hirschstein, M. K., Edstrom, L. V., & Snell, J. L. (2009). Observed
reductions in school bullying, nonbullying aggression, and destructive bystander behavior: A longitudinal evaluation. Journal of Educational Psychology, 101, 466–481.
Gini, G. (2006). Bullying as a social process: The role of group membership in students'
perception of  inter-group aggression at school. Journal of School Psychology, 44(1), 51-65.
Glew, G. M., Fan, M., Katon, W., Rivara, F. P., & Kermic, M. A. (2005). Bullying,
psychosocial adjustment, and academic performance in elementary school. Pediatric Adolescent Medicine, 159, 1026–1031.
Kärnä, A., Voeten, M., Poskiparta, E., & Salmivalli, C. (2010). Vulnerable children in
varying classroom contexts: Bystanders' behaviors moderate the effects of risk factors on victimization. Merrill-Palmer Quarterly, 56(3), 261-282.
KEN/Muhabar. (2005, July 16). Dipetik November 22, 2014, dari liputan6.com:             http://news.liputan6.com/read/105426/gara-gara-sering-diejek-vivi-gantung-diri
Polanin, J. R., Espelage, D. L., & Pigott, T. D. (2012). A meta-analysis of school-based
bullying prevention programs’ effects on bystander intervention behavior. School Psychology Review, 41(1), 47-65.
Raskauskas, J. L., Gregory, J., Harvey, S. T., Rifshana, F., & Evans, I. M. (2010).
Bullying among primary school children in New Zealand: Relationships with prosocial behaviour and classroom climate. Educational Research, 52(1), 1-13.
Ross, S. W., & Horner, R. H. (2009). Bullying prevention in positive behavior support.
Journal of Applied Behavior Analysis, 42, 747–759.
Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Bjorkqvist, K., Osterman, K., & Kaukianen, A. (1996).
Bullying as a group process: Participant roles and their relations to social status within the group. Aggressive Behavior, 22, 1–12.
Smith, J. D., Twemlow, S. W., & Hoover, D. W. (1999). Bullies, victims, and
bystanders: A method of inschool intervention and possible parental contributions. Child Psychiatry and Human Development, 30, 29–37.
Ttofi, M. M., & Farrington, D. P. (2011). Effectiveness of school-based programs to
reduce bullying: A systematic and meta-analytic review. Journal of Experimental Criminology, 7, 27–56.
Twemlow, S. W., Fonagy, P., & Sacco, F. C. (2004). The role of the bystander in the
social architecture of bullying and violence in schools and communities.Annals of the New York Academy of Sciences, 1036(1), 215-232.
Weir, E. (2001). The health impact of bullying. Canadian Medical Association Journal165(9), 
            1249-1249.

-------------------------------

maaf kalo formatnya sedikit ngaco dikarenakan hasil copas dari word kemari suka kagak bener
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment